Selasa, 27 Maret 2012

Sejarah Aksara Lontara


Daeng Pamatte', Pencipta Aksara Lontara




Daeng Pamatte' lahir di Kampung Lakiung (Gowa). Beliau adalah salah seorang tokoh sejarah Kerajaan Gowa yang tidak dapat dilupakan karena karya besar yang ditinggalkannya. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, menyebut nama Daeng Pamatte', orang lantas mengingat karyanya yaitu huruf Lontara. Dia dikenal sebagai pencipta huruf Lontara Makassar dan pengarang buku Lontara Bilang Gowa Tallo.
Pada masa Kerajaan Gowa diperintah Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisi Kallonna, tersebutlah Daeng Pamatte' sebagai seorang pejabat yang dikenal karena kepandaiannya. Tidak heran apabila ia dipercaya oleh Baginda untuk memegang dua jabatan penting sekaligus dalam pemerintahan yaitu sebagai "sabannara" (syahbandar) merangkap "Tumailalang" (Menteri Urusan Istana Dalam dan Luar Negeri) yang bertanggung jawab mengurus kemakmuran dan pemerintahan Gowa.
Lahirnya Aksara Lontara
Lahirnya karya bersejarah yang dibuat "Daeng Pamatte" bermula karena ia diperintah oleh Karaeng Tumapakrisi Kallonna untuk mencipta huruf Makassar. Hal ini mungkin didasari kebutuhan dan kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah kerajaan dapat berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat secara tertulis.
Maka Daeng Pamatte' pun melaksanakan dan berhasil memenuhinya. Dimana ia berhasil mengarang Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf . Lontara ciptaan Daeng Pamatte ini dikenal dengan istilah Lontara Toa (het oude Makassarche letters chrif) atau Lontara Jangang-Jangang (burung) karena bentuknya seperti burung. Juga ada pendapat yang mengatakan dasar pembentukan aksara Lontara dipengaruhi oleh huruf Sangsekerta.
Kemudian Lontara ciptaan Daeng Pamatte' ini, mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sampai pada abad ke XIX. Perubahan huruf tersebut baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya yakni 18 menjadi 19 dengan ditambahkannya satu huruf yakni "ha" sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan 1984 : 11).
Dari Lontara Jangang-Jangan ke Belah Ketupat


Jenis aksara Lontara yang pertama sebagaimana disebutkan diatas adalah Lontara Jangang-Jangang atau Lontara Toa. Aksara itu tercipta dengan memperhatikan bentuk burung dari berbagai gaya, seperti burung yang sedang terbang dengan huruf "Ka" burung hendak turun ke tanah dengan huruf "Nga", bentuk burung dari ekor, badan dan leher dengan lambang huruf "Nga". Lontara Jangang-Jangan ini digunakan untuk menulis naskah perjanjian Bungaya. Kemudian akibat dari pengaruh Agama Islam sebagai agama Kerajaan Gowa, maka bentuk huruf pun berubah mengikuti simbol angka dan huruf Arab, seperti huruf Arab nomor 2 diberi makna huruf "ka" angka Arab nomor 2 dan titik dibawak diberi makna "Ga" angka tujuh dengan titik diatas diberi makna "Nga", juga bilangan arab lainnya yang jumlahnya 18 huruf . Aksara Lontara ini disebut juga Lontara Bilang-Bilang (Bilang-Bilang = Hitungan). Lontara Bilang-Bilang ini diperkirakan muncul pada abad 16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin (1593-1639). Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi lagi perubahan (penyederhanaan) dengan mengambil bentuk huruf dari Belah Ketupat.
Siapa yang melaksanakan penyederhanaan Aksara Makassar itu menurut HD Mangemba, tidaklah diketahui tetapi berdasarkan jumlah aksara yang semula 18 huruf dan kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu dilakukan setelah masuknya Islam. Huruf tambahan akibat pengaruh Islam dari bahasa arab tersebut, huruf "Ha".
Dalam pada itu, dalam versi lain Mattulada berpendapat bahwa justeru Daeng Pamatte jugalah yang menyederhanakan dan melengkapi lontara Makassar itu, menjadi sebagaimana adanya sekarang. Dari ke-19 huruf Lontara Makassar itulah, kemudian dalam perkembangannya untuk keperluan bahasa Bugis ditambahkan empat huruf, yaitu ngka, mpa, nra dan nca sehingga menjadi menjadi 23 huruf sebagaimana yang dikenal sekarang ini dengan nama Aksara Lontara Bugis Makassar.**

Sejarah Sureq La Galigo dan Sastra Makassar

Tahukah anda atau masih ingatkah anda pernyataan dari Muh. Salim - salah seorang penerjemah Sureq Lagaligo bahwa Kitab tersebut berbahasa Proto Bugis (Bugis Kuno) bercampur bahasa Sansekerta. Dan menurutnya, hanya tersisa kurang lebih 100 orang saja di Sulawesi Selatan yang mengerti bahasa tersebut. Olehnya itu Muh. Salim butuh waktu 5 tahun 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahan yang seluruhnya berjumlah 300.000 baris yang terbagi dalam 36 Bab itu. (dikutip dari catatan Ashari Thamrin)

Dari pernyataan Salim ini, lantas muncul pertanyaan dalam hati, Pertama, kalau Kitab tersebut berbahasa Bugis, tentu Salim hanya butuh waktu sebulan atau paling tidak 2 sampai 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahannya. Tapi ternyata tidak. Salim yang berdarah bugis dan lancar berbahasa bugis ternyata butuh waktu lama dan kesulitan menerjemahkan Kitab tersebut. Kedua, bagaimana hal itu bisa ada (sebagaimana Muh. Salim katakan) sedangkan selama ini kita semua mengetahui dan meyakini bahwa Lontara Bugis adalah merupakan pengembangan dari Aksara Lontara Makassar...?

Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan kedua diatas saya mencari literatur yang bisa menjawab hal itu, berkat panduan seorang teman sayapun mendapatkan literatur tersebut setelah menelusuri Genesis bahasa Austronesia, bahwa bahasa yang merupakan turunan terakhir di Sulawesi Selatan adalah bahasa Mandar dan Bugis. Kedua bahasa ini diturunkan dari bahasa Wolio (Buton). Bahasa Wolio sendiri adalah turunan dari bahasa Makassar. Tidak berhenti disitu, saya pun coba mencari literatur yang lain, tanpa sengaja sambil membaca buku "Lontara Makassar" yang ditulis oleh Drs. Syarifuddin Kulle dan Zainuddin Tika, SH mendapatkan bahwa Lontara Makassar (Lontara pertama/ Lontara Jangang-Jangang) ini tercipta karena pengaruh dari pola bunyi dan aksara SANGSEKERTA.

Berikut kutipannya "Saat kebingungan itu, muncullah ide dari Daeng Pamatte yang saat itu menjabat sebagai syahbandar (sabannara) dermaga Somba Opu. Ia memperhatikan burung-burung dari berbagai gaya, baik gaya terbang, berdiri. dari hasil pengamatan terciptalah 18 aksara. Lontara itu kemudian dikenal dengan istilah Lontara Jangang-Jangang (Jangang-jangang = burung). (Monografi kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan, 1984 : 10). Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa Lontara Jangang-Jangang ini tercipta karena pengaruh dari pola bunyi dan aksara Sangsekerta (A. Moein MG, 1990 : 14)".

Dari tulisan A. Moein ini, sayapun mencari bukti kebenarannya, Alhamdulillah... saya pun mendapatkannya, hal ini dapat dilihat dari gambar yang ada dibawah, betul bahwa Aksara Pallawa pun tersebut mempunyai jumlah 18 aksara berikut bunyinya sama dengan Lontara Mangkasara (Lontara Jangang-Jangang ciptaan Daeng Pamatte'). Sejarah lahirnya Lontara Makassar inilah yang dimaksud oleh Salim, jadi sangatlah salah kalau Salim mengatakan bahwa bahasa asli dari Sureq Lagaligo itu bercampur dengan Aksara Sangsekerta.




Lalu apa alasan Salim menutupinya dengan “Proto Bugis” bercampur bahasa Sangsekerta dan hanya tersisa 100 orang saja yang mengerti...? Hanya Allah dan dia saja yang tahu. Belum puas sampai disitu. bahwa untuk benar-benar memastikan Kitab Lagaligo itu bukan berbahasa Bugis, tapi berbahasa lain, maka yang harus saya lakukan adalah melihat langsung Kitab tersebut ke Perpustakaan Leiden Belanda.

Jelas, suatu hal yang belum mampu saya lakukan sendiri, mengingat keterbatasan dalam hal finansial dan kapasitas keilmuan. Tapi tidak berhenti disitu, sayapun berusaha untuk mencari keterangan lain, mungkin saja ada keterangan lain yang bisa lebih menguatkan keyakinan saya. Dan benar saja, saya menemukan sebuah keterangan dari Prof. DR. Ahmad M. Sewang, M.A melalui bukunya yang berjudul ISLAMISASI KERAJAAN GOWA, ditulis bahwa B.F. Matthes pada tahun 1883 menghimpun Lontara Pattorioloang dan Lontara Latoa milik Gowa Tallo, Lontara Pattorioloang ini selanjutnya diberi judul Makassaarche Crestomathie, dan disebutkan pula bahwa dalam menggunakan jenis Lontara ini diperlukan kehati-hatian, sebab sebagian bercampur mitos, hal 11 dan 12)*

Akhirnya jelaslah akan semuanya bahwa Lontara asli yang di tulis ulang oleh Collieq Pujie bersama Matthes sebagaimana kita ketahui bersama, diatas kertas papirrus yang lebih dikenal dengan nama Sureq Lagaligo yang menjadi tanda tanya besar selama ini bagi masyarakat, adalah Lontara Pattorioloang milik Gowa Tallo dengan kata lain Sureq Lagaligo adalah KARYA SASTRA MAKASSAR.

Minggu, 25 Maret 2012

Pesan Untuk Adikku (ME and EDSA)






Fungsi berorganisasi adalah pengalamannya yang suatu saat akan sangat berguna bagi pengabdian ke masyarakat, karena mengingat tidak selamanya kita menjadi mahasiswa, suatu saat apabila kita telah lulus dan kembali ke masyarakat kita bisa mengaplikasikan hal-hal yang pernah kita dapatkan selama berorganisasi. Intinya jangan pernah berhenti untuk berproses !!!

Berbicara tentang EDSA, Emmmmmmm
EDSA hanyalah sebuah kata yang terdiri dari 4 huruf yang merupakan sebuah singkatan dari English Department Students Association, tapi ingat, EDSA bukan hanya sekedar Kata !!!
EDSA merupakan suatu lembaga tingkat Jurusan atau tempat berhimpunnya mahasiswa yang bernaung dibawah jurusan bahasa inggris FKIP UnisMuh Makassar, yang bertujuan Menciptakan kader-kader melalui suatu proses Tansformasi Regenerasi.
EDSA bagi saya adalah Lembaga Pertama yang saya kenal di Universitas Muhammadiyah Makassar, Lembaga yang banyak mengajarkan banyak hal. Bisa dikata EDSA adalah Lembaga yang membesarkanku di Unismuh. Saya bisa seperti sekarang ini karena EDSA.
Satu hal yang membuat saya menyukai EDSA, yaitu rasa persaudaraan yang ada didalamnya, sesuatu yang sangat susah untuk di Ungkapkan menggunakan kata2. Yang jelasnya orang2 yang ada didalamnya adalah orang2 solid dan loyal.
Bila diAnalogikakan, Apabila ada seseorang yang sangat menyayangi pacarnya, pasti dia berusaha untuk menjaga dan melindunginya, mungkin seperti itulah perasaan saya.
Saya sangat menyayangi EDSA dan saya selalu ingin berusaha dan melakukan yang terbaik untuk EDSA karena saya tidak mau melihat dan mendengar Cerita2 yang berbau negatif tentang EDSA.

Saya berharap kepada Adik-Adikku di bhs. Inggris sebagai calon penerus di EDSA agar kiranya bisa melanjutkan dan menjaga EDSA kelak dengan sebaik-baiknya, karena mengingat tidak selamanya kami ada. "yang Tua Diganti dengan GEnerasi Baru"
dan apabila Waktunya Telah tiba, tolong jaga EDSA beserta Atribut2nya, Karena EDSA adalah Rumahta, tempat dimana kita bernaung dari panas matahari, Hujan, dan lain2.
Tidak semua Anak bahasa Inggris adalah anak EDSA, tapi semua anak EDSA adalah anak bahasa Iggris.
Baik tidaknya EDSA itu ditentukan oleh orang2 yang ada didalamnya.

Tujuan dan Harapan saya menulis ini, cuma ingin membuat adik2 calon penerus pengurus EDSA bisa sadar. Dan jika kelak waktunya telah tiba maka kalian tidak bermain-main dalam mengembang tugas dan amanah, hindari perpecahan junjung tinggi rasa SOLIDARITAS, LOYALITAS, dan SENIORITAS.

HIDUP English Department Students Association.......
HIDUP EDSA.........
I Love EDSA....

Tolong  Jaga EDSA, Adikku !!! 

Rabu, 07 Maret 2012

SUNAN GUNUNG JATI

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullahyang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.

Sedang Fatahillahadalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantuSunan Gunungjatiberperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra
yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakanpemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid. Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang.
Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
`Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Demikianlah riwayat perjuangan Sunan Gunungjati.